Pengertian dan Hakikat Sastra
Etimologi kata sastra berasal dari bahasa sanskerta susastra. Su- artinya indah, baik. Sastra artinya huruf, tulisan, atau buku. Jadi pengertian umum sastra adalah segala tulisan yang indah.
Plato mengemukakan bahwa hakikat sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.
Fungsi Sastra
Quintus Horatius Flaccus, penyair klasik kelahiran Venosa, Italia dalam tulisannya yang berjudul Ars Poetica menyebutkan fungsi sastra sebagai dulce et utile (latin: bermanfaat dan menghibur). Singkatnya, tolak-ukur keluhungan sebuah karya sastra dinilai dari kelengkapan dua fungsi tersebut. Jika hanya berfungsi menghibur (seperti roman-roman picisan yang hanya memancing syahwat dan ditulis sekadar untuk tujuan komersial), tetapi isinya tidak bermanfaat untuk memanusiakan manusia, dikatakan kualitas sastranya rendah, bahkan tidak digolongkan sebagai sebuah karya sastra.
Sastra Klasik dan Sastra Modern
Sastra klasik dan sastra modern dapat dibedakan dengan bentuk atau format penulisannya. Singkatnya, kita bedakan seperti ini saja:
Sastra Lama/Klasik
- Pantun
- Dongeng (termasuk di dalamnya legenda, fabel, mite, sage, dan cerita jenaka)
- Hikayat
Sastra Modern
- Puisi
- Prosa (termasuk di dalamnya cerpen, novelet, novel, dan roman)
- Drama (dalam bentuk naskah)
- Hakikat Puisi ialah nyanyian jiwa (ketika penulisnya menyaksikan, merasakan, atau mengalami sesuatu yang menggugah hati).
- Hakikat Prosa ialah peristiwa.
- Hakikat Drama ialah lakuan dan cakapan.
Karya Sastra Yang Mengubah Arah Sejarah
Bangsa berperadaban tinggi dalam sejarah dunia terbukti merupakan bangsa yang menilai tinggi kedudukan sastra. Romawi-Yunani, Mesir Kuno, Cina Kuno, bahkan Arab adalah tonggak-tonggak peradaban dunia yang masyarakatnya "sadar sastra".
Banyak yang minder mengaku sebagai 'orang sastra'. Padahal kata Aristoteles, "Sastra adalah jalan keempat menuju kebenaran."
Banyak yang minder masuk fakultas sastra. Padahal sastra itu dekat dengan filsafat, ilmu jiwa (psikologi), sejarah, politik, dan sebagainya.
Banyak yang minder jadi pelajar sastra. Padahal sastra terbukti pernah mengubah sejarah. Tidak percaya? Ini beberapa contohnya:
- Novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menginspirasi ‘gerakan politik etis’ di Hindia Belanda.
- Sajak-sajak Rabindranath Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris
- Novel Uncle's Tom Cabin karya Harriet Beecher Stowe menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.
- Puisi-puisi cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda.
- Puisi-puisi patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Krawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda.
Bangsa berperadaban tinggi di dunia terbukti merupakan bangsa yang menilai tinggi kedudukan sastra karena sastra terbukti memiliki potensi dahsyat untuk mengubah sejarah.
Bangsa berperadaban tinggi di dunia terbukti merupakan bangsa yang menilai tinggi kedudukan sastra karena mereka paham benar hakikat dan fungsi sastra dalam memanusiakan manusia.
Bangsa berperadaban tinggi di dunia terbukti merupakan bangsa yang menilai tinggi kedudukan sastra. Bagaimana dengan kita?
Bagaimana pula dengan prinsip Islam mengenai sastra? Bukankah dalam Quran terdapat ayat "Tidak layak baginya (Muḥammadﷺ) bersyair" (Q.S. Yasin:69)? Bahkan ada juga hadis-hadis yang mengharamkannya. Bagaimana Islam memandang sastra? InsyaAllâh kita bahas pada kesempatan mendatang.
Bangsa berperadaban tinggi di dunia terbukti merupakan bangsa yang menilai tinggi kedudukan sastra. Bagaimana dengan kita?